Di Sebuah Pertemuan
Kumpulan Puisi Karya Hasta Indriyana
Berikut ini adalah kumpulan puisi karya Hasta Indriyana.
INFUS
Dalam sebotol
infus, ibu, bahasa manusia adalah
Memaknai tubuh
satu-persatu
Diurai sambil
mengingat doa-doa masa kecil
Kupikir yang
menetes itu bukan air mata
Dari matamu,
bukan keringat malaikat, atau
Darah
keturunan-keturunan. Barangkali kalau aku
Boleh
mengandaikan, semacam tetes gerimis
Di genteng
yang dulu pernah
Kutampung
dalam baskom lalu kubawa masuk
Ke kamar dan
sebuah perahu kertas yang
Lama kusiapkan
keletakkan di atasnya
Ibu, lalu kita
berperahu
Di sela
tetes-tetes gerimis, “Lihatlah ibu,
Daratan jauh
itu, kita bakal kesana menjauhi
Pulau sakit
ini!”
Ah, di antara
mekar teratai, bunyi rintik-rintik itu,
Akan kita
lewati hilir dan muara yang sempit
Mungkin
menyakitkan
Tapi dokter
bukan tuhan. Ia baru
Berjalan ke
ruang ini sambil menjinjing
Perahu, dua
batang dayung bersama perawat-
perawat
Cantik mirip
peri yang semalam kuimpikan
RSUD Wonosari, 2003
PARANGKUSUMO
Kubayangkan,
semalam
Kauhabiskan
waktu
Buat bersemadi
atau
Menziarahi
sesuatu
Yang kauanggap
Dulu pernah
ada
Aku sedikit
usil
Membiarkan
angin
Yang santer
Menimpa
obrolan-obrolan
Di sebuah
warung kopi
Seorang
mucikari
Nanti,
sekiranya udara
Khidmad
kembali, kita
Kenang masa
kecil di lautan
Melukis wajah
dan
Garis tangan
di pasiran
Juga membangun
rumah
Yang kekal
Yang tak
tersentuh ombak
Dan langkah
kaki
2004
DI BUKIT
PATHUK
Kerik belalang
kayu
Di rimbun
pepohonan
Dua tahun lalu
Terakhit kita
dengar
Dan bikin
rindu
Kerlip-kerlip
lampu
Di bawah
Bukan Manhattan
bukan
Kepungan
kunang-kunang
Sepi. Udara
rasanya mirip
Besi ditempeli
angin
Semalaman
Di bukit ini
selalu
Saja kutanya,
Yang mana
Rumahmu?
Yang ingin
Kutumpahi
rindu itu?
Juli, 2004
PUISI BULAN
MEI
Kau yang
berhati laut, tempat berselancar
Huruf-huruf
selalu mencipta riang bagi
Gelombang dan
gelembung
Aku buih yang
terpecah dan terserak
Terpagut
menata kata senantiasa
Mei yang sayu
itu pada akhirnya seperti
Kita.
Bergemuruh tetapi terus saja diam
Ingin
berkata-kata namun tak jua
Terucapkan
Barangkali
sebagaimana perahu
Nelayan yang
laju itu, tanpa jangkar tanpa
Boat mesin,
Cuma angin Cuma ruwet jaring
Yang menjala
kesepian kita
Tak ada ikan
terumbu kaugambar di pasiran
Tak ada
rumah-rumah kerang membuka
Pintu jendela
untukku.. hanya plastik
Dan kaleng
soda di pinggiran
Kemudian, lagu
laut lagu bulan mei
Kembali
berkesiur di sela bangkai perahu
Di bawah
pantatmu. Sementara, tapak kita
Terlihat
memanjang, makin jauh semakin
Menghilang di
antara barisan jingking
Dan ubur-ubur
uang mengubur maut
Bulan kelima
Semarang, 2004
JULI
Pada hari yang
kesekian, kisah yang
Kaubacakan
sampai sudah di tengah
Buku selalu
menyisakan lipatan-lipatan
Sebagai tanda,
kaki pernah
Melangkah dan
Tubuh telah
membaca
Sekian huruf
pada musim yang berlainan
Tanah retak
sebagaimana bibirmu
Yang pecah
dilewati angin malam
Tapi tanah
telah menjelma bedak
Dan
beterbangan di pepucuk jati
Yang ranggas
Dingin dan
panas
Menumpuk juga
di kulitmu
Bumi selalu
demikian. Menawarkan
Cerita yang
gigil dan gerah. Selalu ada
Yang berkuasa
atas tubuh yang ringkih
Yang mudah
pecah yang gampang perih
Lantas pada
pagi yang kesekian ketika cerita
Akan kita buka
lagi, embun pun makin
Memebal.
Menggantung di halimun
Sementara di
antara reranting mahoni
Sarang
srikatan menggantung sepi
Cerita pun
kembali dimulai dari
Perubahan-perubahan
Dewadaru, 2004
SELERET CAHAYA
YANG TERLUKIS DI MATAMU
Pada malam
penghabisan pertemuan sempat
Kucatat
kejadian-kejadian di matamu,
Sekelebat
cahaya yang datang dari jagat jauh
Lalu singgah
di sana, di dunia matamu
Yang cantik
dan lapang seperti taman
Surga tempat
bermuara segala cahaya
Kerik
jengkerik dan belalang kayu senyap
Dari derit
sayap. Tiba-tiba ada yang terdiam
Ketika rindu
yang kaujatuhkan di atas perdu
Menjelma
peti-peti cahaya
Kemudian
berpendar di setiap jengkal
Waktu tungguku
yang sia
Sesuatu yang
pernah kuterjemahkan
Dari
perjalanan tubuhmu adalah peta
Yang pecah dan
membuncah
Samirono, 2004
RUMAH SINGGAH
Rumah kita
kembara. Pintu jendela kata-kata
Yang ditata.
Halaman-halaman kembar ditumbuhi
Senyap
ditanami rindang. Ada sedih menyela
Kita siangi.
Ada catatan berserak kita pungut
Dalam cemas
yang menggelisahkan
Tempat singgah
kita perjalanan
Dalam alir aku
dedaun jatuh di kali. Dan kau
Sebatang
ranting menyampirkan tubuhku
Menjadi puisi.
Tapi cuaca kadang luput terbaca
Kadang banjir
menerjang. Tamasya kita lanjutkan!
Dewadaru, 2004
CAHAYA
Telah
kauciptakan gelap
Dan aku
gelagapan
Mencarimu
Dewadaru, 2002
MAGRIB
Saatnya buka puasa
Saatnya buka
puisi
Dewadaru, 2002
WUDLU
Setelah air
membasuh tubuh
Kupahami, ia
mencari liang
Di bumi
Dewadaru, 2002
CINTA ITU ANU
Sebagian bunga
menjadi buah
Segala buah
menjelma bunga tanah
Dewadaru, 2003
SORE
Bau sore hari.
Angin malas-malasan mengirim
Sentuhan.
Puteri malu beberpa menit lalu
Menutup pintu
jendela. Kunang-kunang
Menyalakan
lampu dan menyiapkan kayu-kayu
Pediangan bagi
siapa pun pemburu selimut
Dan kesunyian
Kau jangan
menatapku seperti itu, katamu
Dan kamu,
sesore ini selalu saja membuntuti
Matahari.
Angslup bersama awan-awan merah
Yang berarak,
dan selalu tak bisa berteman akrab
Dengan
kelelawar dan gagak
Hei, sebaiknya
kamu tinggal disini
Sebentar saja.
Diam melagukan bungan rumput
Yang mulai
menggigil, atau membaca sajak
Tentang malam
dan kegelapan
Yakinlah, aku
tak bakal cemburu sebab kau
Sama cantiknya
bila kubandingkan dengan
Seru muadzin
yang selalu mengusirmu
Bau tubuhmu.
Cukup kuat seperti keringat
Birahi. Itu
mengajarkan senja
Untuk tidak
lupa pada berjuta sajak
Yang menulisnya
Dewadaru, 2003
KARTU POS
Seperti
bayangan langit membatalkan hujan
Gambar wajahmu
ada di situ. Mengirim kabar
Tentang
tubuhku yang terlanjur basah
Oleh kenang
Atau mimpi
yang kaujanjikan dalam
Sebungkus
amplop dan perangko yang nempel
Lewat lidahmu
yang mungil. Tak ada merpati
Bertengger di
muka jendela akhirnya
Hanya
selembar. Tanpa gambar
Hanya selarik
kata penting
Langit makin
terlihat basa-basi
Kartu pos
buru-buru minta dibakar
Seperti biasa,
aku tertatih menerjemahkan cuaca
Maka
kuperpanjang sepi selanjutnya
Tak ada yang
bisa kukoyak, dan wajahmu gemar
Beraut
halilintar
Tapi aku
terbiasa membaca selarik kata penting
Yang selalu
gagal menghujani
Dewadaru, 2003
KAMAR PENYAIR
Bukan aroma
tinta
Tapi anyir
tamasya
Yang membuat
kening berkerut
Dalam
kalimat-kalimat
Mengendap
Dewadaru, 2003
DISTONIK
Bagaimana kalau
kau
Gandeng
tanganku selalu?
Sliwer-sliwer
rayuan
Di kota iklan
bisa
Merenggangkan
cinta
Kau percaya
bukan?
Aku
menyayangimu
Maka wajib curiga
agar
Suatu ketika
kita tak
Merasa
kehilangan atau
Tiba-tiba
menjadi
Begitu asing
pada diri
Sendiri
Peganglah
jariku, Cinta
Sebab jalanan
menawarkan
Banyak
kelamin. Agar kau tak
Bingung. Juga
tak pernah
Sekali pun
Menyalahkan
diri atau
Menyesal di gegap
jagat
Yang gagap
Yogyakatra, 2004
NATAL
Setelah
lonceng dan perjanjian
Waktu itu
brangkali aku heran menatap jagat
Begitu rahim
ibu menutup kembali
Aku pun lupa,
bagaimana
Keleneng
lonceng, dan kalimat-kalimat
Muadzin yang
ditiupkan
Di telinga kanan
kiri. Juga
Lengking
terompet yang kaujanjikan itu
Dewadaru, 2003
DI SEBUAH
RUANG RIAS
Aku seperti
cermin. Kau memoles wajah
Sendirian. Aku
melihat sesuatu telah menjadi
Orang lain.
“Oh, Tuan Agung, mari silahkan
Masuk. Rumah
ini dibangun dari sesuatu
Yang berbeda.
Lain dari wajah Tuan yang
Sebenarnya,”
Sambil
menenteng senjata kepala suku,
Aku pura-pura
menjadi sesuatu bukan diriku
Tiang
penyangga, tembok, jam dinding,
Hiasan, dan
bunga-bunga menjadi cantik
Udara kemudian
dibuat dari dunia pura-pura
Sebuah ruang
rias, pada malam yang bergegas
Selalu
kuselipkan belati, siapa tahu di semua
Sudut negeri
ini selalu mengancam wajahku
Angin bertiup
menjadi cemas
Kau juga
seperti cermin. Mengingatkanku tentang
Sepasang mata
dan sebilah senjata yang sebenarnya
Tak pantas
dibawa ke mana pun di negeri ini
Juga buat
mengusir takut
Juga raut kita
yang sebenarnya, dipoles dari
Dunia
pura-pura
Malang, 2004
ANJING
Aku bermimpi
menjadi anjing
Berlari ke
tempat keramaian. Tiap kali kelokan
Menumpahkan air
kencing
Aku
berlari-lari
Orang-orang
berkaki empat. Tiap ketemu
Saling menukar
liur. Aku dan orang-orang
Menggonggong
dengan bahasa puisi yang
Dengus. Semua
tempat
Telah menjelma
taman bagi persahabatan
Paling suci
Di
tempat-tempat suci orang-orang
Memakan daging
anjing sambil
Tersipu
mengumpulkan doa-doa buat
tuhan
Kakiku gerah
hingga seluruh tubuh mesti
Dibasuh dengan
liur orang-orang berkaki empat
Tujuh kali!
Selalu tak ada
yang bisa kupahami,
Mengapa tiap
kali tidur aku mesti kencing,
Mengeluarkan
liur, dan menggonggong
Di
tempat-tempat suci sekalipun
Dewadaru, 2003
SATU
Jendela
rumahmu
Masih seperti
ketika pertama aku singgah
Di kotamu.
Langit juga sama; menjanjikan
Hujan
Aku yang
kaupaksa singgah
Menyentuh
handel pintu juga akhirnya
Jendela langit
bergetar
Rumah yang
dingin
Bapakmu hujan.
Ibumu hujan. Kakakmu hujan
Adik dan
saudara-saudaramu hujan
Tetanggamu
mendung. Aku mesti hati-hati
Membaca
bendera setengah tiang di gambar
Kaosmu yang
kau pakai. Aku mesti menjadi
Baju yang
dipakai kerabatmu. Seperti langit
Yang
menjanjikan basah
Lantai licin
udara sembab
Tanah-tanah di
garis tanganmu yang memanjang
Mungkin bikin
kepleset
Aku linglung
mengeja rambu
Tak ada peta
tak ada kompas di telapakmu
Di telapakmu
Maka kubaca
langit. Kuterjemahkan jendela
Rumahmu. Tapi
tak semua janji mesti kita
Lunasi bukan?
Seperti langit di kotamu
Yang gemar
menjanjikan segala kemungkinan
Mungkin ini
mungkin itu mungkin bukan anu
Dewadaru, 2003
DI PENDAPA
USAI PEMENTASAN
Rumah kita
panggung, tempat menjatuhkan peluh
Meluluhkan
keluh. Ada yang patut ditontonkan
selain
Tubuh dan
barisan kata yang dihapal yang dikepal
Dengan lantang
dan gagah
Ialah keakuan
dan keangkuhan yang tak jua pula
Gampang
dikalahkan. Orang-orang menonton
Sedangkan kita
tak pernah bisa melihat diri sendiri
Rumah kita di
dada, siapapun bisa datang bisa
Pulang,
seperti daun-daun kelengkeng yang ranggas
Lantas
tengkurap di tanah sementara tunas-tunas
Bercuatan di
sela reranting, terjangan angin, dan
burung
Yang hinggap
dan berkelepak
Di pendapa
usai pementasan, kita meluruskan
punggung
Pada akhirnya
kita pun lelah. Kebersamaan yang
telah
Tergenggam
mungkin saja esok hari begitu saja
rengang
Lalu suatu
ketika nanti kita tersandar, betapa masa
lalu dan Saat
ini telah mendefinisikan kita dengan
jujur, dengan
Tepuk sorak
atau kepiluan. Kita pun menonton
dari dekat
Begitu dekat
jarak itu
Karangmalang, 2005
WISANGSANJAYA
Laki-laki itu
menggaritkan tongkat ke tanah
Sebelum air
muncar. Senyap membuncah desa-desa
Sebelah utara
sebelah selatan tegalan
Kemudian
bendungan yang diniatkan menghampar
Ketika mata
air mengalir di garitan. Air mata
mampet
Tak hilir di
tengah kemarau bukit-bukit kapur
Sejarah yang
mancur. Dan Majapahit kembali
Menggeliat
menyelimuti orang-orang pencari wisik
Pemburu kuasa
yang patah dan dipatahkan
Tetapi hidup
barangkali meja judi, kalah
Menang
menggariskan giris. Juga wajah sinis
Yang terpahat:
masa lalu yang begitu batu!
Di Gunung
Gambar ia melihat timur dan utara
Telah menjadi
abu. Manusia seperti telah ditulis
Untuk mati
dalam perang. Di luar garis itu
Nasib
barangkali harga mati
Kemudian dupa,
stupa perlahan malih menjelma
Tasbih. Tak
ada yang mampu membalik telapak
Untuk sesuatu
yang hakiki. Maka ketika
Cuaca pulih ia
memilih sirna melangkahkan kaki
Menuju seribu
bukit yang membelit waktu
Melilit dendam
dan pengabdian
Alam lalu
mengajari segala keinginan untuk
Tidak tunduk
begitu saja. Ia tetap jua kali dan
Peunungan
Keras dan
mengikis!
Dewadaru, 2004
DAFTAR PUSTAKA
: Indriyana, Hasta. 2011. Di Sebuah Pertemuan. Surabaya: Iranti Mitra Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar