Minggu, 21 Agustus 2016

Di Sebuah Pertemuan-kumpulan puisi Hasta Indriyana

Di Sebuah Pertemuan
Kumpulan Puisi Karya Hasta Indriyana

sastralangit.wordpress.com

Berikut ini adalah kumpulan puisi karya Hasta Indriyana.

INFUS

Dalam sebotol infus, ibu, bahasa manusia adalah
Memaknai tubuh satu-persatu
Diurai sambil mengingat doa-doa masa kecil

Kupikir yang menetes itu bukan air mata
Dari matamu, bukan keringat malaikat, atau
Darah keturunan-keturunan. Barangkali kalau aku
Boleh mengandaikan, semacam tetes gerimis
Di genteng yang dulu pernah
Kutampung dalam baskom lalu kubawa masuk
Ke kamar dan sebuah perahu kertas yang
Lama kusiapkan keletakkan di atasnya

Ibu, lalu kita berperahu
Di sela tetes-tetes gerimis, “Lihatlah ibu,
Daratan jauh itu, kita bakal kesana menjauhi
Pulau sakit ini!”

Ah, di antara mekar teratai, bunyi rintik-rintik itu,
Akan kita lewati hilir dan muara yang sempit
Mungkin menyakitkan

Tapi dokter bukan tuhan. Ia baru
Berjalan ke ruang ini sambil menjinjing
Perahu, dua batang dayung bersama perawat-
perawat
Cantik mirip peri yang semalam kuimpikan

RSUD Wonosari, 2003

PARANGKUSUMO

Kubayangkan, semalam
Kauhabiskan waktu
Buat bersemadi atau
Menziarahi sesuatu
Yang kauanggap
Dulu pernah ada

Aku sedikit usil
Membiarkan angin
Yang santer
Menimpa obrolan-obrolan
Di sebuah warung kopi
Seorang mucikari

Nanti, sekiranya udara
Khidmad kembali, kita
Kenang masa kecil di lautan

Melukis wajah dan
Garis tangan di pasiran
Juga membangun rumah
Yang kekal
Yang tak tersentuh ombak
Dan langkah kaki

2004

DI BUKIT PATHUK

Kerik belalang kayu
Di rimbun pepohonan

Dua tahun lalu
Terakhit kita dengar
Dan bikin rindu
Kerlip-kerlip lampu
Di bawah
Bukan Manhattan bukan
Kepungan kunang-kunang

Sepi. Udara rasanya mirip
Besi ditempeli angin
Semalaman

Di bukit ini selalu
Saja kutanya,
Yang mana
Rumahmu?

Yang ingin
Kutumpahi rindu itu?

Juli, 2004

PUISI BULAN MEI

Kau yang berhati laut, tempat berselancar
Huruf-huruf selalu mencipta riang bagi
Gelombang dan gelembung

Aku buih yang terpecah dan terserak
Terpagut menata kata senantiasa

Mei yang sayu itu pada akhirnya seperti
Kita. Bergemuruh tetapi terus saja diam
Ingin berkata-kata namun tak jua
Terucapkan

Barangkali sebagaimana perahu
Nelayan yang laju itu, tanpa jangkar tanpa
Boat mesin, Cuma angin Cuma ruwet jaring
Yang menjala kesepian kita

Tak ada ikan terumbu kaugambar di pasiran
Tak ada rumah-rumah kerang membuka
Pintu jendela untukku.. hanya plastik
Dan kaleng soda di pinggiran

Kemudian, lagu laut lagu bulan mei
Kembali berkesiur di sela bangkai perahu
Di bawah pantatmu. Sementara, tapak kita
Terlihat memanjang, makin jauh semakin
Menghilang di antara barisan jingking
Dan ubur-ubur uang mengubur maut
Bulan kelima

Semarang, 2004

JULI

Pada hari yang kesekian, kisah yang
Kaubacakan sampai sudah di tengah

Buku selalu menyisakan lipatan-lipatan
Sebagai tanda, kaki pernah
Melangkah dan
Tubuh telah membaca
Sekian huruf pada musim yang berlainan

Tanah retak sebagaimana bibirmu
Yang pecah dilewati angin malam

Tapi tanah telah menjelma bedak
Dan beterbangan di pepucuk jati
Yang ranggas
Dingin dan panas
Menumpuk juga di kulitmu

Bumi selalu demikian. Menawarkan
Cerita yang gigil dan gerah. Selalu ada
Yang berkuasa atas tubuh yang ringkih
Yang mudah pecah yang gampang perih

Lantas pada pagi yang kesekian  ketika cerita
Akan kita buka lagi, embun pun makin
Memebal. Menggantung di halimun

Sementara di antara reranting mahoni
Sarang srikatan menggantung sepi

Cerita pun kembali dimulai dari
Perubahan-perubahan

Dewadaru, 2004

SELERET CAHAYA YANG TERLUKIS DI MATAMU

Pada malam penghabisan pertemuan sempat
Kucatat kejadian-kejadian di matamu,

Sekelebat cahaya yang datang dari jagat jauh
Lalu singgah di sana, di dunia matamu
Yang cantik dan lapang seperti taman
Surga tempat bermuara segala cahaya

Kerik jengkerik dan belalang kayu senyap
Dari derit sayap. Tiba-tiba ada yang terdiam
Ketika rindu yang kaujatuhkan di atas perdu
Menjelma peti-peti cahaya
Kemudian berpendar di setiap jengkal
Waktu tungguku yang sia

Sesuatu yang pernah kuterjemahkan
Dari perjalanan tubuhmu adalah peta
Yang pecah dan membuncah

Samirono, 2004

RUMAH SINGGAH

Rumah kita kembara. Pintu jendela kata-kata
Yang ditata. Halaman-halaman kembar ditumbuhi
Senyap ditanami rindang. Ada sedih menyela
Kita siangi. Ada catatan berserak kita pungut
Dalam cemas yang menggelisahkan

Tempat singgah kita perjalanan
Dalam alir aku dedaun jatuh di kali. Dan kau
Sebatang ranting menyampirkan tubuhku
Menjadi puisi. Tapi cuaca kadang luput terbaca
Kadang banjir menerjang. Tamasya kita lanjutkan!

Dewadaru, 2004
CAHAYA

Telah kauciptakan gelap
Dan aku gelagapan
Mencarimu

Dewadaru, 2002

MAGRIB

Saatnya buka puasa
Saatnya buka puisi

Dewadaru, 2002

WUDLU

Setelah air membasuh tubuh
Kupahami, ia mencari liang
Di bumi

Dewadaru, 2002

CINTA ITU ANU

Sebagian bunga menjadi buah
Segala buah menjelma bunga tanah

Dewadaru, 2003

SORE

Bau sore hari. Angin malas-malasan mengirim
Sentuhan. Puteri malu beberpa menit lalu
Menutup pintu jendela. Kunang-kunang
Menyalakan lampu dan menyiapkan kayu-kayu
Pediangan bagi siapa pun pemburu selimut
Dan kesunyian

Kau jangan menatapku seperti itu, katamu
Dan kamu, sesore ini selalu saja membuntuti
Matahari. Angslup bersama awan-awan merah
Yang berarak, dan selalu tak bisa berteman akrab
Dengan kelelawar dan gagak

Hei, sebaiknya kamu tinggal disini
Sebentar saja. Diam melagukan bungan rumput
Yang mulai menggigil, atau membaca sajak
Tentang malam dan kegelapan


Yakinlah, aku tak bakal cemburu sebab kau
Sama cantiknya bila kubandingkan dengan
Seru muadzin yang selalu mengusirmu

Bau tubuhmu. Cukup kuat seperti keringat
Birahi. Itu mengajarkan senja
Untuk tidak lupa pada berjuta sajak
Yang menulisnya

Dewadaru, 2003

KARTU POS

Seperti bayangan langit membatalkan hujan
Gambar wajahmu ada di situ. Mengirim kabar
Tentang tubuhku yang terlanjur basah
Oleh kenang

Atau mimpi yang kaujanjikan dalam
Sebungkus amplop dan perangko yang nempel
Lewat lidahmu yang mungil. Tak ada merpati
Bertengger di muka jendela akhirnya

Hanya selembar. Tanpa gambar
Hanya selarik kata penting

Langit makin terlihat basa-basi
Kartu pos buru-buru minta dibakar

Seperti biasa, aku tertatih menerjemahkan cuaca
Maka kuperpanjang sepi selanjutnya

Tak ada yang bisa kukoyak, dan wajahmu gemar
Beraut halilintar
Tapi aku terbiasa membaca selarik kata penting
Yang selalu gagal menghujani

Dewadaru, 2003


KAMAR PENYAIR

Bukan aroma tinta
Tapi anyir tamasya
Yang membuat kening berkerut
Dalam kalimat-kalimat
Mengendap

Dewadaru, 2003

DISTONIK

Bagaimana kalau kau
Gandeng tanganku selalu?

Sliwer-sliwer rayuan
Di kota iklan bisa
Merenggangkan cinta

Kau percaya bukan?

Aku menyayangimu
Maka wajib curiga agar
Suatu ketika kita tak
Merasa kehilangan atau
Tiba-tiba menjadi
Begitu asing pada diri
Sendiri

Peganglah jariku, Cinta
Sebab jalanan menawarkan
Banyak kelamin. Agar kau tak
Bingung. Juga tak pernah
Sekali pun

Menyalahkan diri atau
Menyesal di gegap jagat

Yang gagap

Yogyakatra, 2004


NATAL

Setelah lonceng dan perjanjian
Waktu itu brangkali aku heran menatap jagat

Begitu rahim ibu menutup kembali
Aku pun lupa, bagaimana
Keleneng lonceng, dan kalimat-kalimat
Muadzin yang ditiupkan
Di telinga kanan kiri. Juga
Lengking terompet yang kaujanjikan itu

Dewadaru, 2003

DI SEBUAH RUANG RIAS

Aku seperti cermin. Kau memoles wajah
Sendirian. Aku melihat sesuatu telah menjadi
Orang lain. “Oh, Tuan Agung, mari silahkan
Masuk. Rumah ini dibangun dari sesuatu
Yang berbeda. Lain dari wajah Tuan yang
Sebenarnya,”

Sambil menenteng senjata kepala suku,
Aku pura-pura menjadi sesuatu bukan diriku

Tiang penyangga, tembok, jam dinding,
Hiasan, dan bunga-bunga menjadi cantik
Udara kemudian dibuat dari dunia pura-pura

Sebuah ruang rias, pada malam yang bergegas
Selalu kuselipkan belati, siapa tahu di semua
Sudut negeri ini selalu mengancam wajahku
Angin bertiup menjadi cemas

Kau juga seperti cermin. Mengingatkanku tentang
Sepasang mata dan sebilah senjata yang sebenarnya
Tak pantas dibawa ke mana pun di negeri ini
Juga buat mengusir takut

Juga raut kita yang sebenarnya, dipoles dari
Dunia pura-pura

Malang, 2004


ANJING

Aku bermimpi menjadi anjing
Berlari ke tempat keramaian. Tiap kali kelokan
Menumpahkan air kencing
Aku berlari-lari

Orang-orang berkaki empat. Tiap ketemu
Saling menukar liur. Aku dan orang-orang
Menggonggong dengan bahasa puisi yang
Dengus. Semua tempat
Telah menjelma taman bagi persahabatan
Paling suci

Di tempat-tempat suci orang-orang
Memakan daging anjing sambil
Tersipu mengumpulkan doa-doa buat
tuhan

Kakiku gerah hingga seluruh tubuh mesti
Dibasuh dengan liur orang-orang berkaki empat

Tujuh kali!

Selalu tak ada yang bisa kupahami,
Mengapa tiap kali tidur aku mesti kencing,
Mengeluarkan liur, dan menggonggong
Di tempat-tempat suci sekalipun

Dewadaru, 2003

SATU

Jendela rumahmu
Masih seperti ketika pertama aku singgah
Di kotamu. Langit juga sama; menjanjikan
Hujan

Aku yang kaupaksa singgah
Menyentuh handel pintu juga akhirnya
Jendela langit bergetar

Rumah yang dingin
Bapakmu hujan. Ibumu hujan. Kakakmu hujan
Adik dan saudara-saudaramu hujan
Tetanggamu mendung. Aku mesti hati-hati
Membaca bendera setengah tiang di gambar
Kaosmu yang kau pakai. Aku mesti menjadi
Baju yang dipakai kerabatmu. Seperti langit
Yang menjanjikan basah

Lantai licin udara sembab
Tanah-tanah di garis tanganmu yang memanjang
Mungkin bikin kepleset
Aku linglung mengeja rambu
Tak ada peta tak ada kompas di telapakmu
Di telapakmu

Maka kubaca langit. Kuterjemahkan jendela
Rumahmu. Tapi tak semua janji mesti kita
Lunasi bukan? Seperti langit di kotamu
Yang gemar menjanjikan segala kemungkinan
Mungkin ini mungkin itu mungkin bukan anu

Dewadaru, 2003

DI PENDAPA USAI PEMENTASAN

Rumah kita panggung, tempat menjatuhkan peluh
Meluluhkan keluh. Ada yang patut ditontonkan
selain
Tubuh dan barisan kata yang dihapal yang dikepal
Dengan lantang dan gagah

Ialah keakuan dan keangkuhan yang tak jua pula
Gampang dikalahkan. Orang-orang menonton
Sedangkan kita tak pernah bisa melihat diri sendiri

Rumah kita di dada, siapapun bisa datang bisa
Pulang, seperti daun-daun kelengkeng yang ranggas
Lantas tengkurap di tanah sementara tunas-tunas
Bercuatan di sela reranting, terjangan angin, dan
burung
Yang hinggap dan berkelepak

Di pendapa usai pementasan, kita meluruskan
punggung
Pada akhirnya kita pun lelah. Kebersamaan yang
telah
Tergenggam mungkin saja esok hari begitu saja
rengang

Lalu suatu ketika nanti kita tersandar, betapa masa
lalu dan Saat ini telah mendefinisikan kita dengan
jujur, dengan
Tepuk sorak atau kepiluan. Kita pun menonton
dari dekat
Begitu dekat jarak itu

Karangmalang, 2005


WISANGSANJAYA

Laki-laki itu menggaritkan tongkat ke tanah
Sebelum air muncar. Senyap membuncah desa-desa
Sebelah utara sebelah selatan tegalan

Kemudian bendungan yang diniatkan menghampar
Ketika mata air mengalir di garitan. Air mata
mampet
Tak hilir di tengah kemarau bukit-bukit kapur

Sejarah yang mancur. Dan Majapahit kembali
Menggeliat menyelimuti orang-orang pencari wisik
Pemburu kuasa yang patah dan dipatahkan

Tetapi hidup barangkali meja judi, kalah
Menang menggariskan giris. Juga wajah sinis
Yang terpahat: masa lalu yang begitu batu!

Di Gunung Gambar ia melihat timur dan utara
Telah menjadi abu. Manusia seperti telah ditulis
Untuk mati dalam perang. Di luar garis itu
Nasib barangkali harga mati

Kemudian dupa, stupa perlahan malih menjelma
Tasbih. Tak ada yang mampu membalik telapak
Untuk sesuatu yang hakiki. Maka ketika
Cuaca pulih ia memilih sirna melangkahkan kaki
Menuju seribu bukit yang membelit waktu
Melilit dendam dan pengabdian

Alam lalu mengajari segala keinginan untuk
Tidak tunduk begitu saja. Ia tetap jua kali dan
Peunungan
Keras dan mengikis!

Dewadaru, 2004

DAFTAR PUSTAKA : Indriyana, Hasta. 2011. Di Sebuah Pertemuan. Surabaya: Iranti Mitra Utama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar